DISKRIMINASI TERHADAP PENDERITA
HIV AIDS DI INDONESIA
MAKALAH INI DIAJUKAN UNTUK TUGAS ILMU SOSIAL DASAR
Disusun
Oleh :
BERKAH
PUTRA PRASETIA
11315338
1TA03
PROGAM
STUDI TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN
FAKULTAS
TEKNIK SIPIL DAN ARSITEKTUR
Dosen
:
EMILIANSHAH BANOWO, S.SOS.,MM
Kampus D di Jl. Margonda Raya 100 - Depok
KATA PENGANTAR
Dengan
menyebut nama Allah SWT yang Maha
Pengasih lagi Maha Panyayang, Penulis panjatkan puja dan puji syukur atas
kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada Penulis, sehingga Penulis
dapat menyelesaikan makalah tentang “DISKRIMINASI TERHADAP PENDERITA HIV AIDS DI
INDONESIA”.
Makalah ini telah Penulis susun dengan
maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk
itu Penulis menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang
telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Penulis
menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat
maupun tata bahasanya. Oleh
karena itu dengan tangan terbuka
Penulis menerima segala saran dan kritik
dari pembaca agar Penulis dapat memperbaiki makalah ini.
Akhir
kata Penulis berharap semoga makalah tentang “DISKRIMINASI TERHADAP PENDERITA HIV AIDS DI
INDONESIA” ini dapat
memberikan manfaat
maupun inpirasi terhadap
pembaca.
Depok, 19 Desember 2015
Penyusun
DAFTAR
ISI
· KATA
PENGANTAR .............................................................................................. i
· DAFTAR
ISI ............................................................................................................. ii
· BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG ………………………………………………….......... 1
1.1 LATAR BELAKANG ………………………………………………….......... 1
1.2 RUMUSAN MASALAH …………………………………………………….
2
1.3 TUJUAN PENULISAN ……………………………………………………... 2
· BAB II PEMBAHASAN
2.1 PENGERTIAN DISKRIMINASI .………………………………………….. . 3
2.2 MACAM – MACAM DISKRIMINASI ………………………..…………... 4
2.3 SEJARAH HIV & AIDS ………………………………………….…………. 5
2.4 TIGA DEKADE HIV/AIDS DI
INDONESIA …...…………………………..
6
2.5 CARA PENULARAN HIV & AIDS ………………………………………… 9
2.6 PENCEGAHAN HIV & AIDS ………………………………………………. 11
2.7 DISKRIMINASI KAUM HIV & AIDS DI INDONESIA …………………… 13
· BAB III PENUTUP
3.1 KESIMPULAN ……………………………………………………………… 16
3.2 SARAN …………………………………………………………………….. .. 16
· DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………. 17
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
AIDS di Indonesia ditangani oleh Komisi
Penanggulangan AIDS (KPA)
Nasional dan Badan Koordinasi
Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dan
memiliki Strategi Penanggulangan AIDS Nasional untuk wilayah Indonesia. Ada 79
daerah prioritas di mana epidemi AIDS sedang meluas. Daerah tersebut menjangkau
delapan provinsi: Papua,Papua
Barat, Sumatera
Utara, Jawa
Timur, Jakarta, Kepulauan
Riau, Jawa
Barat,
dan Jawa
Tengah.
Program-program penanggulangan AIDS menekankan pada pencegahan melalui
perubahan perilaku dan melengkapi upaya pencegahan tersebut dengan layanan
pengobatan dan perawatan. Program PEPFAR di Indonesia bekerja sama secara erat
dengan saat ini.
Sekitar 170.000
sampai 210.000 dari 220 juta penduduk Indonesia mengidap HIV/AIDS. Perkiraan
prevalensi keseluruhan adalah 0,1% di seluruh negeri, dengan pengecualian
Provinsi Papua, di mana
angka epidemik diperkirakan mencapai 2,4%, dan cara penularan utamanya adalah
melalui hubungan seksual tanpa menggunakan pelindung.
Jumlah kasus kematian
akibat AIDS di Indonesia diperkirakan mencapai 5.500 jiwa. Epidemi tersebut
terutama terkonsentrasi di kalangan pengguna obat terlarang melalui jarum
suntik dan pasangan intimnya, orang yang berkecimpung dalam kegiatan prostitusi
dan pelanggan mereka, dan pria yang melakukan hubungan seksual dengan sesama
pria. Sejak 30 Juni 2007, 42% dari kasus AIDS yang dilaporkan ditularkan melalui hubungan
heteroseksual dan 53% melalui penggunaan obat terlarang.
1.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang telah dipaparkan
diatas, maka yang menjadi rumusan masalah yaitu :
1. Bagaimana cara mencegah penyebaran penyakit HIV AIDS
di Indonesia?
2. Bagaimana Sejarah HIV & AIDS yang ada di
Indonesia?
1.3 Tujuan Penulisan
Adapun yang menjadi tujuan dari penulisan
makalah ini yaitu :
1. Melengkapi tugas mata kuliah ilmu sosial dasar..
2. Memberikan Informasi tentang pencegahan penyakit HIV
AIDS dan sikap kita terhadap orang yang mengidap penyakit HIV AIDS.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Diskriminasi
Diskriminasi merujuk kepada pelayanan yang tidak adil terhadap individu tertentu, di mana layanan ini
dibuat berdasarkan karakteristik yang diwakili oleh individu tersebut.
Diskriminasi merupakan suatu kejadian yang biasa dijumpai dalam masyarakat manusia, ini disebabkan karena kecenderungan
manusian untuk membeda-bedakan yang lain.
Ketika
seseorang diperlakukan secara tidak adil karena
karakteristik suku, antargolongan, kelamin, ras, agama dan kepercayaan, aliran politik, kondisi fisik atau karateristik lain yang
diduga merupakan dasar dari tindakan diskriminasi
1.
Diskriminasi langsung, terjadi saat hukum, peraturan atau kebijakan jelas-jelas
menyebutkan karakteristik tertentu, seperti jenis kelamin, ras, dan sebagainya, dan menghambat
adanya peluang yang sama.
2.
Diskriminasi tidak langsung, terjadi saat peraturan yang bersifat netral menjadi diskriminatif saat
diterapkan di lapangan
2.2 Macam – Macam Diskriminasi
Dalam diskriminasi ada Macam-macam bentuk Diskriminasi
yang terjadi dalam kehidupan di antaranya :
1. Diskriminasi
Umur
Individu di beri layanan yang tidak adil karena beliau
tergolong dalam lingkungan umur tertentu. Contohnya di negara malaysia remaja
senantiasa dianggap orang yang menimbulkan masalah sehingga timbul istilah
"Masalah Remaja"
2. Diskriminasi
Gender
Individu di beri layanan yang tidak adil karena gender
mereka. Contoh seorang wanita menerima gaji yang lebih rendah dengan lelaki
sejawatnya walaupun sumbangan mereka adalah sama.
3. Diskriminasi
Kesehatan
Individu diberi layanan yang tidak adil karena mereka
menderita penyakit atau kecacatan tertentu Contohnya seorang yang pernah
menderita sakit jiwa telah di tolak untuk mengisi jawatan tertentu, walaupun ia
telah sembuh dan mempunyai keupayaan yang di perlukan.
4. Diskriminasi
Ras
Individu tidak di berikan layanan kesehatan
karena Ras
5. Diskriminasi
agama
Individu di beri layanan yang tidak adil
berdasarkan agama yang dianutnya
6. Diskriminasi
kaum
Tidak mendapatkan layanan yang sama rata dengan
kaum lain
2.3 Sejarah HIV & AIDS
Virus
HIV dikenal secara terpisah oleh para peneliti di Institut Pasteur Perancis
pada tahun 1983 dan NIH yaitu sebuah institut kesehatan nasional di Amerika
Serikat pada tahun 1984. Meskipun tim dari Institute Pasteur Perancis yang
dipimpin oleh Dr. Luc Montagnie, yang pertama kali mengumumkan penemuan ini di
awal tahun 1983 namun penghargaan untuk penemuan virus ini tetap diberikan
kepada para peneliti baik yang berasal dari Perancis maupun Amerika.
Peneliti
Perancis memberi nama virus ini LAV atau lymphadenopathy associated virus. Tim
dari Amerika yang dipimpin Dr. Robert Gallo menyebut virus ini HTLV-3 atau
human T-cell lymphotropic virus type-3. Kemudian Komite Internasional untuk
Taksonomi Virus memutuskan untuk menetapkan nama human immunodeficiency virus
(HIV) sebagai nama yang dikenal sampai sekarang makapara peneliti tersebut juga
sepakat untuk menggunakan istilah HIV. Sesuai dengan namanya, virus ini
“memakan” imunitas tubuh.
Penyakit
AIDS telah menjadi masalah internasional karena dalam waktu singkat terjadi
peningkatan jumlah penderita dan melanda semakin banyak negara. Dikatakan pula
bahwa epidemic yang terjadi tidak saja mengenal penyakit (AIDS), virus (HIV)
tetapi juga reaksi/dampak negative berbagai bidang seperti kesehatan, social,
ekonomi, politik, kebudayaan dan demografi. Hal ini merupakan tantangan yang
harus diharapi baik oleh negara maju maupun negara berkembang.
2.4 Tiga Dekade HIV/AIDS di Indonesia
Menyongsong tiga dekade ditemukannya virus
HIV/AIDS di Indonesia, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menunjukkan kabar baik
dari data yang diperoleh sepanjang 2015. Kabar baik ini tidak lepas dari
program pencegahan dan pengobatan yang terus berlangsung hingga kini.
Namun, masih perlu banyak usaha dari semua kalangan untuk terus menggaungkan kampanye anti-HIV/AIDS ini. Sebab, selain angka penderita yang harus terus ditekan dan angka kematian yang juga harus ditekan, perhatian masyarakat menjadi kunci untuk bisa menjadikan Indonesia bebas dari HIV/AIDS.
Data Kemenkes pada triwulan pertama menunjukkan adanya kenaikan angka penderita HIV. Jika semula pada 2014 penderita HIV mencapai 32.711 jiwa, saat ini Kemenkes mencatat hingga Juni 2015 penderita HIV berjumlah 17.325 jiwa. Angka ini dimungkinkan masih meningkat hingga akhir tahun.
Direktur Pencegahan Penyakit Menular dr Sigit mengatakan, kenaikan angka penderita tidak perlu diartikan secara tegang. Sebab, semakin tingginya angka penderita berarti mengindikasikan adanya deteksi dini. Orang dengan positif HIV kini tak perlu lagi merasa takut ataupun sungkan mengakui dirinya mengidap HIV.
Namun, masih perlu banyak usaha dari semua kalangan untuk terus menggaungkan kampanye anti-HIV/AIDS ini. Sebab, selain angka penderita yang harus terus ditekan dan angka kematian yang juga harus ditekan, perhatian masyarakat menjadi kunci untuk bisa menjadikan Indonesia bebas dari HIV/AIDS.
Data Kemenkes pada triwulan pertama menunjukkan adanya kenaikan angka penderita HIV. Jika semula pada 2014 penderita HIV mencapai 32.711 jiwa, saat ini Kemenkes mencatat hingga Juni 2015 penderita HIV berjumlah 17.325 jiwa. Angka ini dimungkinkan masih meningkat hingga akhir tahun.
Direktur Pencegahan Penyakit Menular dr Sigit mengatakan, kenaikan angka penderita tidak perlu diartikan secara tegang. Sebab, semakin tingginya angka penderita berarti mengindikasikan adanya deteksi dini. Orang dengan positif HIV kini tak perlu lagi merasa takut ataupun sungkan mengakui dirinya mengidap HIV.
Angka ini dirasa melegakan oleh Sigit sebab jika diperkirakan hingga akhir tahun, kenaikannya juga tidak cukup signifikan. Angka tersebut membuktikan bahwa deteksi dini mulai akrab di masyarakat. Manfaat dari deteksi dini ini, yakni setidaknya para pengidap HIV sadar bahwa dirinya sudah positif HIV dan bisa mencegah penularan dan memproteksi diri untuk bisa memperpanjang usia.
"Ini bentuk positif. Karena sejatinya, jika sosialisasi
dan deteksi dini semakin membaik dan akrab di masyarakat, angka per tahun
mendatang akan datar dan statis. Jika angka tersebut statis, bisa disimpulkan
bahwa negara perlu melakukan penekanan angka dan pengobatan secara tepat
sasaran," ujar Sigit saat dihubungi Republika, Kamis (19/11).
Sigit menambahkan, adanya kabar baik ini sinkron dengan menurunnya angka penderita AIDS. Kemenkes mencatat, pada 2014 penderita AIDS berjumlah 5.494 jiwa, sedangkan pada triwulan pertama 2015 pengidap AIDS tercatat berjumlah 1.238 jiwa.
Jika perkiraan di akhir tahun jumlah itu masih meningkat dua kali lipat, angka tersebut masih jauh lebih baik dari tahun kemarin. Angka pengidap AIDS yang menurun ini merupakan salah satu dampak dari deteksi dini yang lebih diutamakan. Sehingga, ketika orang dengan HIV lebih dulu mengetahui, ia jadi lebih peduli terhadap tubuhnya dan bisa segera diberikan asupan ARV agar tak menjadi AIDS.
Sigit menambahkan, adanya kabar baik ini sinkron dengan menurunnya angka penderita AIDS. Kemenkes mencatat, pada 2014 penderita AIDS berjumlah 5.494 jiwa, sedangkan pada triwulan pertama 2015 pengidap AIDS tercatat berjumlah 1.238 jiwa.
Jika perkiraan di akhir tahun jumlah itu masih meningkat dua kali lipat, angka tersebut masih jauh lebih baik dari tahun kemarin. Angka pengidap AIDS yang menurun ini merupakan salah satu dampak dari deteksi dini yang lebih diutamakan. Sehingga, ketika orang dengan HIV lebih dulu mengetahui, ia jadi lebih peduli terhadap tubuhnya dan bisa segera diberikan asupan ARV agar tak menjadi AIDS.
Data ini juga didukung oleh angka kematian yang juga semakin
mengecil. Data Kemenkes menunjukkan angka kematian 0,21 persen. Angka ini
menurun drastis dibandingkan 10 tahun lalu ketika pada 2005 angka kematian
bahkan mencapai 13,6 persen. Untuk tahun 2014 sendiri angka kematian
menunjukkan angka 1,22 persen dari keseluruhan penderita HIV/AIDS di Indonesia.
Untuk diketahui, infeksi HIV di Indonesia terdeteksi pada 1985, yang mana ada seorang perempuan berusia 25 tahun dengan hemofilia dinyatakan terinfeksi HIV di Rumah Sakit Islam Jakarta (RSIJ). Namun, pemerintah menyatakan belum menemukan orang yang benar-benar terjangkit penyakit AIDS.
Pada 1987, seorang wisatawan asal Belanda meninggal di RS Sanglah, Bali. Kematian pria berusia 44 tahun itu diakui pemerintah disebabkan AIDS. Indonesia masuk dalam daftar WHO sebagai negara ke-13 di Asia yang melaporkan kasus AIDS.
Untuk diketahui, infeksi HIV di Indonesia terdeteksi pada 1985, yang mana ada seorang perempuan berusia 25 tahun dengan hemofilia dinyatakan terinfeksi HIV di Rumah Sakit Islam Jakarta (RSIJ). Namun, pemerintah menyatakan belum menemukan orang yang benar-benar terjangkit penyakit AIDS.
Pada 1987, seorang wisatawan asal Belanda meninggal di RS Sanglah, Bali. Kematian pria berusia 44 tahun itu diakui pemerintah disebabkan AIDS. Indonesia masuk dalam daftar WHO sebagai negara ke-13 di Asia yang melaporkan kasus AIDS.
Kabar baik tak hanya dari angka statistik yang menunjukkan
perubahan yang semakin tahun semakin signifikan, tapi juga banyaknya pihak yang
mulai peduli terhadap ODHA. Ayu Oktariani selaku salah satu aktivis peduli
orang dengan HIV/AIDS (ODHA), memisalkan, lima sampai sepuluh tahun silam para
ODHA susah sekali mendapatkan pekerjaan sehingga memaksa mereka berada dalam
keadaan semakin terpuruk.
Hari ini sudah banyak perusahaan yang membuka peluang besar bagi para ODHA. Tak hanya menjadikan bebas HIV/AIDS sebagai salah satu syarat untuk bisa bekerja, perusahaan-perusahaan bahkan mendeklarasikan dirinya sebagai perusahaan yang bangga dan percaya menempatkan ODHA sebagai manusia yang memiliki hak yang sama dengan orang tanpa HIV/AIDS.
Selain itu, Ayu sendiri mengungkapkan bahwa pelayanan rumah sakit tak lagi diskriminatif. Penemuan obat ARV kini bukan lagi kendala. Sekitar 500 lebih rumah sakit di setiap provinsi sudah menyediakan obat ARV secara gratis. Pelayanan pun tak lagi lamat-lamat tertutup karena masyarakat sendiri sedikit demi sedikit sudah mulai terbuka terkait pentingnya mendeteksi dini tubuhnya dari HIV AIDS. Penyuluhan serta layanan terpadu sudah bisa diakses oleh masyarakat.
"Ini menjadi kabar baik bagi kami. Karena, angka kematian bisa ditekan. Apalagi, kini para masyarakat berisiko, seperti para pekerja seks dan pecandu dengan jarum suntik sedikit demi sedikit sudah mau terbuka untuk memeriksakan kondisi tubuhnya. Akses untuk mendeteksi dini juga sudah cukup terbuka," ujar Ayu saat dihubungi Republika, Senin (16/11).
Ini juga yang menjadi salah satu program dari Kementerian Kesehatan selaku leading sector dalam penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia. Sigit mengatakan, pemberian obat ARV sendiri sudah bisa ditemukan bahkan pada layanan kesehatan tingkat pertama di kecamatan-kecamatan. Sigit mengatakan, di daerah yang memiliki banyak ODHA sudah diberikan layanan pemeriksaan antibodi dan pemberian ARV secara gratis.
Hari ini sudah banyak perusahaan yang membuka peluang besar bagi para ODHA. Tak hanya menjadikan bebas HIV/AIDS sebagai salah satu syarat untuk bisa bekerja, perusahaan-perusahaan bahkan mendeklarasikan dirinya sebagai perusahaan yang bangga dan percaya menempatkan ODHA sebagai manusia yang memiliki hak yang sama dengan orang tanpa HIV/AIDS.
Selain itu, Ayu sendiri mengungkapkan bahwa pelayanan rumah sakit tak lagi diskriminatif. Penemuan obat ARV kini bukan lagi kendala. Sekitar 500 lebih rumah sakit di setiap provinsi sudah menyediakan obat ARV secara gratis. Pelayanan pun tak lagi lamat-lamat tertutup karena masyarakat sendiri sedikit demi sedikit sudah mulai terbuka terkait pentingnya mendeteksi dini tubuhnya dari HIV AIDS. Penyuluhan serta layanan terpadu sudah bisa diakses oleh masyarakat.
"Ini menjadi kabar baik bagi kami. Karena, angka kematian bisa ditekan. Apalagi, kini para masyarakat berisiko, seperti para pekerja seks dan pecandu dengan jarum suntik sedikit demi sedikit sudah mau terbuka untuk memeriksakan kondisi tubuhnya. Akses untuk mendeteksi dini juga sudah cukup terbuka," ujar Ayu saat dihubungi Republika, Senin (16/11).
Ini juga yang menjadi salah satu program dari Kementerian Kesehatan selaku leading sector dalam penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia. Sigit mengatakan, pemberian obat ARV sendiri sudah bisa ditemukan bahkan pada layanan kesehatan tingkat pertama di kecamatan-kecamatan. Sigit mengatakan, di daerah yang memiliki banyak ODHA sudah diberikan layanan pemeriksaan antibodi dan pemberian ARV secara gratis.
Sigit mengatakan, pada tahun ini saja program tujuh juta
pemeriksaan antibodi gratis menjadi salah satu program unggulan Direktorat
Pencegahan Penyakit Menular Kemenkes di seluruh Indonesia. Program ini
merupakan program terbuka agar masyarakat peduli terhadap tubuhnya, juga bagi
para masyarakat berisiko bisa dengan leluasa dan tanpa ragu memeriksa tubuhnya.
Asisten Deputi Penguataan Kelembagaan Komisi AIDS Nasional Halik Sidik juga mengamini hal ini. Ia mengatakan, catatan Komnas AIDS menunjukkan bahwa mainstreaming isu HIV/AIDS sudah lebih baik dari dahulu kala. Ketika angka kematian sempat menjadi momok pada awal tahun 2000-an, kini angka kematian semakin tahun semakin menurun. Hal ini mengindikasikan adanya perubahan paradigma masyarakat terhadap isu HIV/AIDS sendiri.
Halik menuturkan, mekanisme penularan juga tak berubah, dari awal ditemukan hingga kini penularan terhadap HIV /AIDS hanya melalui tiga cara. Pertama, penggunaan jarum suntik tidak steril, hubungan seksual yang berisiko, dan penularan secara langsung dari ibu hamil ke anak. Halik sendiri menepis jika penularan berekspansi melalui cara-cara lain. Karena, kontak fisik tidak pernah menjadikan orang terkena HIV/ AIDS.
Untuk masa inkubasinya pun tidak kemudian menjadi endemik yang parah. Hingga saat ini, Halik mengatakan, indikasi positif HIV/AIDS masih berada pada jangka waktu lima sampai sepuluh tahun. Dengan masifnya isu HIV/AIDS di kalangan masyarakat, penyebaran menjadi bisa ditekan. Orang yang tahu bahwa dirinya berisiko HIV/AIDS sesungguhnya bisa menjadi tameng utama untuk penyebaran.
Asisten Deputi Penguataan Kelembagaan Komisi AIDS Nasional Halik Sidik juga mengamini hal ini. Ia mengatakan, catatan Komnas AIDS menunjukkan bahwa mainstreaming isu HIV/AIDS sudah lebih baik dari dahulu kala. Ketika angka kematian sempat menjadi momok pada awal tahun 2000-an, kini angka kematian semakin tahun semakin menurun. Hal ini mengindikasikan adanya perubahan paradigma masyarakat terhadap isu HIV/AIDS sendiri.
Halik menuturkan, mekanisme penularan juga tak berubah, dari awal ditemukan hingga kini penularan terhadap HIV /AIDS hanya melalui tiga cara. Pertama, penggunaan jarum suntik tidak steril, hubungan seksual yang berisiko, dan penularan secara langsung dari ibu hamil ke anak. Halik sendiri menepis jika penularan berekspansi melalui cara-cara lain. Karena, kontak fisik tidak pernah menjadikan orang terkena HIV/ AIDS.
Untuk masa inkubasinya pun tidak kemudian menjadi endemik yang parah. Hingga saat ini, Halik mengatakan, indikasi positif HIV/AIDS masih berada pada jangka waktu lima sampai sepuluh tahun. Dengan masifnya isu HIV/AIDS di kalangan masyarakat, penyebaran menjadi bisa ditekan. Orang yang tahu bahwa dirinya berisiko HIV/AIDS sesungguhnya bisa menjadi tameng utama untuk penyebaran.
2.5 Cara Penularan HIV & AIDS
Cara penularan :
1. Lewat cairan darah:
Melalui transfusi darah / produk darah yg sudah
tercemar HIV
Lewat pemakaian jarum suntik yang sudah tercemar
HIV, yang dipakai bergantian tanpa disterilkan, misalnya pemakaian jarum suntik
dikalangan pengguna Narkotika Suntikan
Melalui pemakaian jarum suntik yang berulangkali
dalam kegiatan lain, misalnya : peyuntikan obat, imunisasi, pemakaian alat
tusuk yang menembus kulit, misalnya alat tindik, tato, dan alat facial wajah
2. Lewat cairan sperma dan
cairan vagina :
Melalui hubungan seks penetratif (penis masuk
kedalam Vagina/Anus), tanpa menggunakan kondom, sehingga memungkinkan
tercampurnya cairan sperma dengan cairan vagina (untuk hubungan seks lewat
vagina) ; atau tercampurnya cairan sperma dengan darah, yang mungkin terjadi
dalam hubungan seks lewat anus.
3. Lewat Air Susu Ibu :
Penularan ini dimungkinkan dari seorang ibu hamil
yang HIV positif, dan melahirkan lewat vagina; kemudian menyusui bayinya dengan
ASI.
Kemungkinan penularan dari ibu ke bayi (Mother-to-Child
Transmission) ini berkisar hingga 30%, artinya dari setiap 10 kehamilan dari
ibu HIV positif kemungkinan ada 3 bayi yang lahir dengan HIV positif.
Secara langsung (transfusi darah, produk darah atau
transplantasi organ tubuh yang tercemar HIV) l Lewat alat-alat (jarum suntik,
peralatan dokter, jarum tato, tindik, dll) yang telah tercemar HIV karena baru
dipakai oleh orang yang terinfeksi HIV dan tidak disterilisasi terlebih dahulu.
Karena HIV – dalam jumlah yang cukup untuk
menginfeksi orang lain- ditemukan dalam darah, air mani dan cairan vagina Odha.
Melalui cairan-cairan tubuh yang lain, tidak pernah dilaporkan kasus penularan
HIV (misalnya melalui: air mata, keringat, air liur/ludah, air kencing).
Melalui hubungan seksual dengan seseorang yang
terinfeksi HIV tanpa memakai kondom l Melalui transfusi darah l Melalui
alat-alat tajam yang telah tercemar HIV (jarum suntik, pisau cukur, tatto, dll)
l Melalui ibu hamil yang terinfeksi HIV kepada janin yang dikandungnya atau
bayi yang disusuinya.
Dalam satu kali hubungan seks secara tidak aman
dengan orang yang terinfeksi HIV dapat terjadi penularan. Walaupun secara
statistik kemungkinan ini antara 0,1% hingga 1% (jauh dibawah risiko penularan
HIV melalui transfusi darah) tetapi lebih dari 90% kasus penularan HIV/AIDS
terjadi melalui hubungan seks yang tidak aman.
karena kegiatan sehari-hari Odha tidak memungkinkan
terjadinya pertukaran cairan tubuh yang menularkan HIV. Kita tidak tertular HIV
selama kita mencegah kontak darah dengan Odha dan jika berhubungan seks, kita
melakukannya secara aman dengan memakai kondom
Seorang Odha kelihatan biasa, seperti halnya orang
lain karena tidak menunjukkan gejala klinis. Kondisi ini disebut “asimptomatik”
yaitu tanpa gejala. Pada orang dewasa sesudah 5-10 tahun mulai tampak
gejala-gejala AIDS.
Hubungan seksual secara anal (lewat dubur) paling
berisiko menularkan HIV, karena epitel mukosa anus relatif tipis dan lebih
mudah terluka dibandingkan epitel dinding vagina, sehingga HIV lebih mudah
masuk ke aliran darah. Dalam berhubungan seks vaginal, perempuan lebih besar
risikonya daripada pria karena selaput lendir vagina cukup rapuh.
Disamping itu karena cairan sperma akan menetap
cukup lama di dalam vagina, kesempatan HIV masuk ke aliran darah menjadi lebih
tinggi. HIV di cairan vagina atau darah tersebut, juga dapat masuk ke aliran
darah melalui saluran kencing pasangannya.
AIDS tidak ditularkan melalui :
1. 1 Makan dan minum bersama,
atau pemakaian alat makan minum bersama.
2. 2 Pemakaian fasilitas umum
bersama, seperti telepon umum, WC umum, dan kolam renang.
3. 3 Ciuman, senggolan, pelukan
dan kegiatan sehari-hari lainnya.
4. 4 Lewat keringat, atau gigitan
nyamuk.
2.6 Pencegahan HIV & AIDS
Tidak ada vaksin untuk mencegah HIV dan tidak ada
obat untuk AIDS, tapi Anda bisa melindungi diri agar tidak terinfeksi.
Satu-satunya cara untuk mencegah terinfeksi HIV adalah dengan menghindari
kegiatan yang meningkatkan risiko tertular HIV. Pada dasarnya, mencegah selalu
lebih baik daripada mengobati.
Cara-cara yang paling umum untuk terinfeksi HIV adalah
berhubungan seks tanpa kondom, berbagi jarum atau alat suntik lainnya. Jika
Anda terinfeksi HIV, Anda bisa menularkannya dengan cara-cara tersebut. Jika
kedua pasangan terinfeksi, tetap lakukan hubungan seks yang aman. Anda bisa tertular
jenis virus HIV lain yang mungkin tidak bisa dikendalikan oleh obat-obatan yang
Anda konsumsi.
Melalui Hubungan Seks
Risiko tertinggi infeksi HIV ditularkan melalui hubungan seks tanpa kondom melalui vagina maupun anal. Risiko tertular melalui seks oral rendah, tapi bukan berarti nol. Seks oral bisa menularkan penyakit Infeksi Menular Seksual lain seperti sifilis. Mainan dan alat bantu seks juga berisiko dalam menyebarkan HIV jika salah satu pengguna mainan dan alat bantu seks ini positif terinfeksi HIV.
Cara terbaik untuk mencegah HIV dan penyakit
infeksi menular seksual (IMS) lainnya adalah dengan memakai kondom untuk segala
jenis penetrasi seks. Dan gunakan dental dam untuk
melakukan seks oral. Dental
dam adalah
selembar kain berbahan lateks. Kain ini berfungsi sebagai penghalang antara
mulut dan vagina atau anus. Hal ini bertujuan untuk menurunkan penyebaran IMS
selama melakukan seks oral.
Pemakaian kondom
Jika Anda tidak tahu status infeksi HIV pasangan, maka
selalu gunakan kondom baru tiap melakukan hubungan seks anal maupun seks
vaginal. Kondom tersedia dalam berbagai bentuk, warna, tekstur, bahan, dan rasa
yang berbeda. Kondom tersedia baik untuk pria maupun wanita.
Kondom adalah bentuk perlindungan paling efektif
melawan HIV dan penyakit Infeksi Menular Seksual lainnya. Kondom bisa digunakan
untuk hubungan seks apa pun. Sangat penting untuk memakai kondom sebelum kontak
seksual apa pun yang muncul antara penis, vagina, mulut, atau anus. HIV bisa
ditularkan sebelum terjadi ejakulasi. Ini terjadi ketika keluarnya cairan awal
dari alat kelamin dan dari anus.
Gunakan kondom yang berbahan lateks atau poliuretan (latex and polyurethane) ketika melakukan hubungan seks. Gunakan kondom
begitu Anda atau pasangan mengalami ereksi, bukan sebelum ejakulasi.
Pemakaian
pelumas
Pelumas digunakan untuk menambah kenyamanan dan
keamanan hubungan seks dengan tujuan menambah kelembapan pada vagina maupun
anus selama seks. Pelumas akan mengurangi risiko terjadinya kulit luka (sobek)
pada vagina atau anus. Pelumas juga mencegah agar kondom tidak sobek.
Hanya gunakan pelumas yang berbahan dasar air, bukan yang
berbahan minyak. Pelumas yang berbahan minyak bisa melemahkan kekuatan kondom
dan bahkan bisa merobek kondom.
Melalui Jarum dan Suntikan
Jika Anda memakai jarum untuk menyuntikkan obat, pastikan jarumnya
steril. Jangan berbagi jarum, suntikan, atau
perlengkapan menyuntik lagi seperti spon dan kain. Berbagi jarum bisa
meningkatkan risiko terinfeksi HIV dan virus lain yang ada di dalam darah,
misalnya hepatitis C.
Jika Anda ingin membuat tato atau tindik,
pastikan selalu memakai jarum yang steril dan bersih. Jangan melakukan
aktivitas ini di tempat sembarangan. Pastikan Anda memeriksa soal jarum yang
digunakan
2.7 Diskriminasi Terhadap Kaum HIV & AIDS DI
INDONESIA
Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Provinsi DKI Jakarta
Rohana Manggala mengatakan HIV/AIDS masih dianggap sebagai penyakit
"nista". Karena itu banyak orang yang memiliki risiko tertular
HIV/AIDS tapi enggan untuk memeriksakan diri. Bahkan tidak sedikit yang sudah tertular
tapi tidak mau berobat. “Masih ada stigma dan diskriminasi terhadap Orang
Dengan HIV/AIDS (ODHA)," kata Rohana dalam acara bincang-bincang terbuka
yang digelar KPAP DKI Jakarta untuk menyambut Hari AIDS Sedunia di Taman
Suropati, Minggu, 29 November 2015.
Rohana mengatakan masih banyak masyarakat yang berpikir HIV/AIDS disebabkan moral yang tidak baik. Karena itu, jangankan untuk berobat, untuk memeriksa diri saja mereka malu.
Menurut Rohana, diskriminasi dari lingkungan sekitar membuat seseorang menjadi takut dan malu untuk sekadar mengecek apakah tertular HIV/AIDS atau tidak. Apalagi lingkungan terdekat mereka tidak memberi dukungan karena adanya stigma pada penyakit ini.
“Kalau keluarga memberikan dukungan total untuk memeriksa atau berobat, tentunya orang yang rentan atau ODHA tersebut akan mau ke dokter dan penyebaran virus ini pun dapat ditekan,” kata Rohana.
Untuk ilustrasi, kata Rohana, di Brasil sudah minim diskriminasi terhadap penderita HIV/AIDS. Di sana orang sudah tidak lagi malu sehingga dapat mudah ditemui remaja sampai orang tua yang antre untuk memeriksakan diri dan berobat.
Rohana berpesan kepada generasi muda dan orang yang rentan terkena HIV/AIDS agar tidak perlu takut dan malu untuk memeriksakan dirinya. Untuk pemeriksaan tersebut, kata Rohana, dapat dilakukan secara gratis di puskesmas. “Bilang aja saya mau VCT (voluntary counseling and testing,tes HIV secara sukarela). Saat ini DKI sudah memiliki 38 puskesmas yang siap dengan program ini,” ucap Rohana.
Rohana menambahkan, puskesmas akan menjamin kerahasiaan data pasien. Hasil tes akan diketahui 15 menit setelah tes dilakukan. Selain puskesmas, tes gratis juga biasanya diadakan KPA pada gelaran acaranya.
Rohana mengatakan masih banyak masyarakat yang berpikir HIV/AIDS disebabkan moral yang tidak baik. Karena itu, jangankan untuk berobat, untuk memeriksa diri saja mereka malu.
Menurut Rohana, diskriminasi dari lingkungan sekitar membuat seseorang menjadi takut dan malu untuk sekadar mengecek apakah tertular HIV/AIDS atau tidak. Apalagi lingkungan terdekat mereka tidak memberi dukungan karena adanya stigma pada penyakit ini.
“Kalau keluarga memberikan dukungan total untuk memeriksa atau berobat, tentunya orang yang rentan atau ODHA tersebut akan mau ke dokter dan penyebaran virus ini pun dapat ditekan,” kata Rohana.
Untuk ilustrasi, kata Rohana, di Brasil sudah minim diskriminasi terhadap penderita HIV/AIDS. Di sana orang sudah tidak lagi malu sehingga dapat mudah ditemui remaja sampai orang tua yang antre untuk memeriksakan diri dan berobat.
Rohana berpesan kepada generasi muda dan orang yang rentan terkena HIV/AIDS agar tidak perlu takut dan malu untuk memeriksakan dirinya. Untuk pemeriksaan tersebut, kata Rohana, dapat dilakukan secara gratis di puskesmas. “Bilang aja saya mau VCT (voluntary counseling and testing,tes HIV secara sukarela). Saat ini DKI sudah memiliki 38 puskesmas yang siap dengan program ini,” ucap Rohana.
Rohana menambahkan, puskesmas akan menjamin kerahasiaan data pasien. Hasil tes akan diketahui 15 menit setelah tes dilakukan. Selain puskesmas, tes gratis juga biasanya diadakan KPA pada gelaran acaranya.
Dengan 472 kasus HIV/AIDS (282 HIV positif dan 190 AIDS),
Jawa Timur berada pada peringkat tiga nasional. Angka ini tidak menggambarkan
jumlah kasus yang sebenarnya. Perlakuan buruk terhadap Odha (orang yang hidup
dengan AIDS) menyulitkan penanggulangan epidemi HIV/AIDS. Melalui Hari AIDS
Sedunia 1 Desember 2003 -hari ini- masyarakat diajak agar tidak melakukan
stigmatisasi (memberi cap buruk) dan diskriminasi (mengasingkan, mengucilkan,
membeda-bedakan) terhadap orang-orang yang hidup dengan AIDS (Odha) karena akan
memperburuk epidemi HIV/AIDS. Stigmatitasi dan diskriminasi pun merupakan
perbuatan melawan hukum dan melanggar hak asasi manusia (HAM).
Selama ini di Surabaya sering dilakukan razia untuk menangkap
pekerja seks. Yang tertangkap diambil darahnya untuk tes HIV tanpa melalui
standar prosedur tes HIV yang baku (konseling sebelum dan sesudah tes,
pernyataan kesediaan, asas anonimitas, dan konfidensialitas). Hal ini dilakukan
seakan-akan sebagai cara menanggulangi epidemi HIV/AIDS karena pekerja seks
yang terdeteksi HIV positif akan 'diawasi'.
Perlakuan itu membuat Odha mengalami stigmatisasi dan
diskriminasi sehingga ada kemungkinan orang-orang yang terinfeksi HIV
'menyembunyikan' diri di masyarakat. Padahal, penanganan pasca tes HIV sangat
penting untuk mendorong orang tersebut agar tidak berperilaku berisiko. Perilaku
Berisiko Mengawasi pekerja seks yang terdeteksi HIV positif tidak banyak
manfaatnya. Yang lebih 'berbahaya' justru laki-laki yang melakukan hubungan
seksual tidak aman dengan pekerja seks. Mereka berisiko tinggi tertular HIV.
Jika ada laki-laki yang tertular HIV, dia akan menjadi mata
rantai penyebaran HIV ke masyarakat. Dia akan menulari istrinya (horizontal).
Jika istrinya tertular, ada pula risiko penularan dari-ibu-ke-bayi (vertikal),
terutama pada saat persalinan dan menyusui dengan ASI. Kasus HIV/AIDS yang
dilaporkan di Surabaya umumnya terdeteksi di kalangan pekerja seks. Jadi, ada
risiko tertular HIV melalui hubungan seks yang tidak aman (tidak memakai
kondom) dengan pekerja seks.
Celakanya, banyak orang yang tidak menyadari dirinya tertular
HIV karena tidak ada keluhan yang khas. Tidak ada pula gejala-gejala klinis
yang khas HIV/AIDS. Gejala baru muncul jika sudah mencapai masa AIDS (5-10
tahun). Tapi, perlu diingat bahwa biarpun belum mencapai masa AIDS, seseorang
yang HIV positif sudah dapat menularkan HIV melalui cara-cara yang sangat
spesifik. Sebagai virus, HIV hanya dapat menular melalui (1) hubungan seks yang
tidak aman (tak memakai kondom) dengan pasangannya di dalam dan di luar nikah,
(2) transfusi darah, (3) jarum suntik, dan (4) dari ibu yang HIV positif ke
bayi yang dikandungnya pada saat persalinan dan menyusui dengan ASI.
Karena tidak ada gejala-gejala klinis yang terkait dengan
HIV/AIDS, yang diperlukan ialah kesadaran setiap orang untuk menimbang-nimbang:
Apakah dirinya berperilaku berisiko tinggi tertular HIV atau tidak. Jika
jawabannya "ya", orang tersebut berisiko tertular HIV. Perilaku
berisiko tinggi tertular HIV adalah (1) melakukan hubungan seks (sanggama) yang
tidak aman (tidak memakai kondom) di dalam dan di luar nikah dengan pasangan
yang berganti-ganti, (2) melakukan hubungan seks (sanggama) yang tidak aman
(tidak memakai kondom) di dalam dan di luar nikah dengan seseorang yang suka
berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks, (3) menerima transfusi darah
yang tidak diskrining, dan (4) memakai jarum suntik dan semprit secara
bersama-sama dengan bergiliran dan bergantian. Materi KIE Setiap orang dapat
melindungi diri sendiri dengan aktif agar tidak tertular HIV, yaitu dengan
menghindari perilaku berisiko.
Tapi, hal itu tidak mudah karena selama ini informasi tentang
HIV/AIDS tidak akurat. Materi KIE (komunikasi, informasi, edukasi) selalu
dibalut dengan moral dan agama sehingga yang muncul hanya mitos (anggapan yang
salah) tentang HIV/AIDS. Misalnya, disebutkan HIV menular melalui zina, seks di
luar nikah, 'seks bebas' (istilah ini rancu), seks menyimpang, pelacuran, dll.
Padahal, tidak ada hubungan langsung antara penularan HIV dengan zina, seks di
luar nikah, seks menyimpang, atau pelacuran. HIV menular melalui hubungan
seksual yang tidak aman jika salah satu dari pasangan itu HIV positif di dalam
dan di luar nikah. Informasi yang menyesatkan itulah kemudian yang membuat
masyarakat tidak waspada.
Banyak yang merasa tidak akan tertular HIV karena mereka
melakukan hubungan seks di luar lokalisasi. Ada pula yang merasa aman karena
kencan dengan 'anak sekolah'. Kalau hubungan seksual yang tidak aman dilakukan
dengan pasangan yang berganti-ganti, baik 'anak sekolah', 'orang baik-baik',
dll, tetap berisiko tertular HIV. Soalnya, bisa saja di antara teman kencan
tersebut ada yang HIV positif. Ketika epidemi HIV sudah menjadi ancaman yang
nyata terhadap kesehatan masyarakat, langkah yang perlu ditempuh adalah
menggencarkan penyuluhan dengan materi KIE yang akurat. Salah satu informasi
yang perlu disampaikan kepada masyarakat adalah perilaku-perilaku berisiko
tinggi tertular HIV.
Selain itu, ada anjuran agar orang-orang yang pernah
berperilaku berisiko tinggi mau menjalani tes HIV sukarela sesuai standar
prosedur operasi tes HIV yang baku. Dengan mengetahui status HIV lebih dini
sebelum mencapai masa AIDS, orang tersebut dapat diajak kompromi agar tidak
menulari orang lain. Selain itu, yang bersangkutan mendapat perawatan medis.
Misalnya, pemberian obat antiretroviral (obat yang dapat menahan laju
perkembangan HIV di dalam darah) sehingga kondisi kesehatan sampai ke masa AIDS
tetap baik. (Syaiful W. Harahap, direktur Eksekutif LSM "InfoKespro"
Jakarta yang bergerak dalam bidang selisik media/media watch berita HIV/AIDS) .
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Bahwa kita harus
waspada terhadap virus HIV/AIDS. Makalah di atas juga menjelaskan pengertian,
sejarah, cara penularan , gejala-gejal dan pencegahannya. Adapun kesimpulan yang dapat penulis
simpulkan mengenai makalah ini adalah:
1.
HIV (Human Immuno–Devesiensi) adalah virus yang hanya
hidup dalam tubuh manusia, yang dapat merusak daya kekebalan tubuh manusia.
AIDS (Acguired Immuno–Deviensi Syndromer) adalah kumpulan gejala menurunnya
gejala kekebalan tubuh terhadap serangan penyakit dari luar.
2.
Tanda dan Gejala Penyakit AIDS seseorang yang terkena
virus HIV pada awal permulaan umumnya tidak memberikan tanda dan gejala yang
khas, penderita hanya mengalami demam selama 3 sampai 6 minggu tergantung daya
tahan tubuh saat mendapat kontak virus HIV tersebut.
3.
Hingga saat ini penyakit AIDS tidak ada obatnya
termasuk serum maupun vaksin yang dapat menyembuhkan manusia dari Virus HIV
penyebab penyakit AIDS yang ada hanyalah pencegahannya saja.
3.2 Saran
Menurut saya sebaiknya anda
sebagai pembaca janganlah sampai terkena virus HIV yang menyebabkan penyakit
AIDS, karena penyakit ini sungguh berbahaya. Sebaiknya jangan melakukan
hubungan seks jika anda belum menikah dan jika mau melakukannya sebaiknya ada memakai
pelindung seperti kondom. Jangan juga sering-sering berganti pasangan karena itu
meningkat resiko terkena HIV/AIDS.
Daftar Pustaka
2. http://www.republika.co.id/berita/koran/podium/15/11/25/nyczg719-tiga-dekade-hivaids-di-indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar